Akulah Ilalang

credit to : https://medium.com
Gerbong sesak yang membawaku berhenti disebuah stasiun kecil. Aku diturunkan disini bersama dengan banyak perempuan yang sama sekali tak ku kenal, yang tadi berjejalan dalam satu gerbong pengap bersamaku.
Lunglai tubuhku, airmata belumlah kering, masih terbayang wajah perih Ibuk yang tak kuasa mencegah kepergianku. Mereka merebutku dari pelukan Ibuk.

Aku sedang membantu Ibuk meniup-niup tungku, agar api tetap menyala stabil supaya rebusan jenang dikuali besar ini matang dengan sempurna. Ibuk biasa membuat panganan jenang menjelang lebaran tiba untuk dibagikan kepada kerabat dan tetangga.
Ketika tiba-tiba serombongan laki-laki menerobos masuk rumah. Mereka berperawakan kekar, bermata sipit dan sangat kasar. Salah seorang laki-laki kekar itu menarik lenganku dengan paksa. Tatapan matanya seolah melahap seluruh tubuhku.
Tubuhku berguncang kuat, aku menggigil ketakutan.

“Buuuk… tolooong”
“Jangan tuan..  lepaskan anak saya”

Tangan kekar itu terus saja menarik lenganku, tak peduli aku berteriak kesakitanku. Duh gusti Allah… seandainyapun mas Tegar ada disini, sanggupkan dia menghalau mereka untuk tidak membawaku?
***
Sentuhan dibahuku menyadarkanku bahwa aku sudah jauh dari kampungku, jauh dari Ibuk.

“Hayo jalan lagi, kalo ndak mau dibedil serdadu..”

Seorang perempuan berwajah pucat menyentuh bahuku. Aku terkesiap kaget, aku harus hidup dan pulang kekampungku ke pelukan Ibuk.
Lunglai aku melanjutkan perjalanan, sebentar-sebentar para serdadu itu membentak-bentak kami yang sudah tak mampu lagi berjalan.
Kulihat sekeliling, para perempuan muda yang bernasib sama denganku ini rata-rata berperawakan kurus dan pucat, mereka juga direbut dari keluarganya.

“.... Kita mau dibawa kemana?”

Tanyaku lirih kepada perempuan pucat yang tadi mengingatkanku untuk jalan.

“Aku ndak tau pasti, hanya mendengar kita akan dipekerjakan di barak-barak serdadu”

Aku terdiam tak bisa menerka apa yang akan terjadi didepan sana, tangisku sudah habis, yang tersisa hanya sebuah kekuatiran dan ketakutan.

“Namaku Surti..”

Aku tetap tak menyahut ketika perempuan disebelahku menyebutkan namanya.
Akhirnya kami tiba disebuah bangunan luas dengan banyak serdadu disana. Kami memasuki ruang itu. Mereka mendata kami satu persatu.
Seketika jemariku kuat mencengkeram lengan Surti, ketika mataku menangkap sosok laki-laki kekar yang menyeretku dari pelukan Ibuk kemarin.

“SIAPA NAMA KAMU !!”

Laki-laki itu berteriak kasar dengan bahasa yang tidak terlalu kumengerti.

“ilalang…” kataku lirih.

Kemudian kami dikelompokan masing-masing sepuluh orang yang menempati satu ruang kecil beralaskan tikar. Surti ada dalam satu kamar bersamaku dan delapan orang lainnya.
Kami diberikan pakaian ganti, disuruh membersihkan diri. Namun aku tak bergeming, ketakutan sangat menghantui pikiranku. Aku terus menangis, terduduk disudut kamar dengan memeluk lutut, aku terus berimajinasi bahwa aku dalam pelukan Ibuk, sampai suatu hentakan mengejutkanku,

“HEYY…. KAMU MAU MATI ! CEPAT BERSIHKAN DIRIMU!”

Salah seorang laki-laki penjaga membentakku.
Setelah aku ganti pakaian, serombongan laki-laki kekar menerobos masuk. Dadaku berdegup cepat ketika kulihat laki-laki kasar itu ada diantara mereka. Duh.. Gusti apalagi yang akan terjadi setelah ini?
Dan ketakutanku pecah sudah, aku menangis sejadi-jadinya ketika lengan kasar lelaki yang belakangan kuketahui bernama Kino itu merangkul pundakku. Aku meronta berusaha melepas rangkulannya, tapi..... PLAK!!!” tamparan keras mendarat dipipiku, aku terhuyung. Kemudian laki-laki ini  menyeretku ke dalam sebuah kamar, mendorongku ke atas sebuah dipan, sehingga kepalaku membentur ujung dipan. Terhuyung aku bangkit berusaha menuju pintu, akan tetapi baru dua langkah kakiku, laki-laki itu menarikku hingga pakaianku terkoyak dibagian belakang. Kulihat ia menyeringai seolah mau menelanku bulat-bulat.

"aaampun tuan… jangan apa-apakan saya..”

Terisak-isak aku memohon terduduk dihadapannya. Kemudian dia meraih bahuku dan membuatku berdiri dekat dihadapannya. Nyawaku bagaikan diujung tanduk saat ini, sedikit saja aku meronta maka sudah dipastikan dia akan menghajarku.
Terdiam sesaat….
Aku tak berani mengangkat wajahku. Kemudian, tak diduga tangan kasarnya merobek baju bagian depanku dan menjambak rambutku hingga kepalaku terdongak, dengan liar dia menciumi seluruh wajahku yang basah dengan air mata. Kembali dia mendorongku ke dipan, melucuti semua pakaianku hingga tak sehelaipun yang menutupi tubuhku. Aku meronta ketika dia berusaha menindihku, kutendang perutnya yang kemudian memancing amarahnya dan mengakibatkan kembali dia memukuli wajahku hingga hidungku mengeluarkan darah. Laki-laki itu dengan liar menelusuri seluruh bagian tubuhku, dengan paksa berulang-ulang memasukiku.
Perih Gusti, sakit sekali rasanya… sangat sakit didada ini, sakit tak terperi, dia memperkosaku dengan sangat liar.
Aku terdiam menahan sakit luar dalam
kemudian… gelap disekelilingku.
***
“ilalang… ilalang…ilalang...”

Samar kudengar suara lirih memanggilku. Kubuka mataku perlahan, kulihat wajah cemas Surti.

“Serdadu itu membawamu kekamar ini dalam keadaan tak sadarkan diri”
Tangisku meledak seketika.

“Sabar ya nduk… mungkin kamu ndak tau untuk apa mereka membawa kita kesini”

Terlintas wajah Ibuk dan almarhum bapak dipelupuk mataku bergantian dengan wajah mas Tegar.

“Mereka membawa kita kesini untuk melayani para serdadu-serdadu tersebut…”

Duh Gusti, hal buruk ini menimpa diriku. Hancur sudah harga diriku diinjak-injak dan dilahap oleh laki-laki itu.

“ilalang… kita harus kuat, bukan tuan Kino itu saja yang akan menidurimu, tapi serdadu-serdadu lain juga mungkin akan datang dan membawamu, jangan melawan ya nduk.. nanti kamu bisa mati di bedil”

“Aku lebih baik mati daripada harus mengalami hal seperti itu lagi..” kataku lirih.

“Sabar nduk… ingat Ibuk yang menunggumu pulang, mereka mengharapkanmu hidup”

Terdiam aku dalam tangis. Ibuk, semoga Ibuk dalam keadaan sehat wal’afiat dan semoga mas Tegar masih sering mengunjungi dan membantu Ibuk.
Mas Tegar, deras air mataku mengalir mengingat wajahnya. Aku malu dengan diriku yang sudah kotor ini, akankah dia sudi menerimaku kembali ketika aku pulang nanti?
Hari-hari berikutnya adalah hari-hari neraka untukku, mereka tidak memberiku kesempatan untuk sekedar beristirahat, mereka menyeret tubuh lunglai-ku untuk dibawa ke kamar itu, dan dengan tatapan kosong aku tak mampu menghentikan mereka bergantian meniduriku dengan buas, aku seringkali pingsan ketika dikembalikan ke barak dan tak jarang kudapati biru lebam ditubuhku.

Suatu saat aku mengalami pendarahan hebat, setelah beberapa bulan tidak datang bulan, aku ditempatkan di barak lain, mungkin aku mengalami keguguran, di saat itu aku merasakan sakit yang bukan kepalang, rasanya aku tidak tahu apakah aku sudah mati atau masih hidup. Aku dibiarkan selama beberapa hari, tapi berikutnya aku dikembalikan ke barak semula, menanti siapa berikutnya yang menyeretku kekamar itu.
Aku tidak tau sudah berapa lama aku berada di sini.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, seolah tak ada harapan untukku pulang. Ingin ku minggat dari barak ini menembus barikade para penjaga dan kemudian mereka membedilku mati, mungkin itu lebih baik. Akan tetapi Surti selalu mengingatkanku ketika aku mulai putus asa, dan hanya bayangan wajah Ibuk yang menyemangatiku untuk terus hidup. Aku mau membantu Ibuk mencari kayu bakar untuk masak, memetik sayuran dibelakang rumah, memasak dan mengantarkan makanan ke sawah untuk Ibuk dan mas Tegar. Akankah semua hal manis itu dapat terulang lagi.
***
Suatu hari para serdadu itu menggiring kami keluar barak, kabarnya para serdadu ditarik mundur dari negeriku. Kami dipulangkan. Surti memelukku erat sebelum naik keatas gerbong kereta yang akan membawa pulang kekampung kami masing-masing.

Kereta yang membawa ku tiba di stasiun kereta di kampungku. Lunglai aku menuruni tangga kereta. Kutatap nanar wajah Ibuk yang basah dengan air mata, Ibuk memelukku, aku diam tak bergeming.

“Kamu pulang nduk..”

Kulihat guratan-guratan di wajah Ibuk yang kian jelas, mengguratkan penderitaan yang dalam.

“Buk, masih pantaskah aku hidup setelah para serdadu itu menghabisiku..”

Lirih aku berusaha memberitahu Ibuk apa yang aku alami bertahun-tahun di barak-barak serdadu itu.
Ibuk tidak mampu berkata-kata, hanya tangisannya meledak, kami menangis berpelukan.

“Masihkah mas Tegar membantu Ibuk seperti dulu?”
“Sabar ya nduk…”

Kemudian kuketahui mas Tegar sudah menikahi seorang perempuan cantik dari kampung sebelah dan kini memiliki dua orang anak.
Tangisku tak mengubah segalanya. Rindu yang kusimpan selama ini pupus sudah. Kalaupun mas Tegar belum berkeluarga, akupun tak akan berani kembali kepadanya, apalah aku kini, bahkan mungkin orang-orang kampungku akan mencemoohkanku dengan kondisiku yang sekarang. Dan akan sulit untuk keluarganya bisa menerima aku. Karena aku adalah ilalang yang tercerabut paksa dari akarnya.


Komentar

Anonim mengatakan…
Pengalaman pribadi yg sangat mengeriakan dan akan trauma seumur hidup....